Mendaki gunung bukan hanya tentang menjawab tantangan, hobi,
merehatkan diri dari hiruk-piruk hidup, atau sekadar menunjukkan kehebatan,
apalagi pelarian.
Ia adalah perjalanan hati. Saat lelah telah menjadikan tubuh
melemah, akankah hati tetap mampu memenangkan keyakinannya, keberaniannya,
kasih sayangnya, kesabarannya, kesantunannya, kekuatan tekadnya, dan kebaikan-kebaikannya
yang lain.
Ia adalah cermin. Yang kita dapat mengaca diri di setiap
jengkalnya. Tentang bekal yang harus disiapkan, langkah yang dipertimbangkan,
napas yang disyukuri, jiwa yang kuat, dan teman seperjalanan yang tepat.
Bersusah-susah menyiapkan bekal tak ada artinya dibanding kesusahan yang akan
ditanggung bila tak ada bekal. Langkah
yang dipertimbangkan bukanlah ketakutan, ia adalah strategi untuk mencapai
kemenangan. Sengalan napas mengingatkan bahwa napas ini pun bukan milik diri.
Ia bisa habis kapan pun pemiliknya—Allah—mau. Jiwa yang kuat membantu
mewujudkan keyakinan, mencapai tujuan. Karena selalu banyak godaan dalam
perjalanan. Di pendakian, pohon tumbang laksana sofa yang menawarkan kenyamanan
bersandar. Tanah sedikit lapang seperti ruang tamu yang ingin memanjakan
kaki-kaki kita menyelonjor sambil mata memejam, tidur. Mengaburkan tujuan yang
telah ditentukan. Dan, godaan itu semakin kuat ketika di sana telah banyak
manusia lain sedang istirahat.
Dan kita teman, semoga adalah kumpulan ruh yang mencintai
kebaikan. Berjuang menyelesaikan perjalanan kita sendiri, dan sesekali bertemu
di sebuah titik untuk saling berbagi tawa juga tangis, untuk saling menguatkan,
lalu kembali berpisah dan berjanji berkumpul di surga.
“Ruh-ruh itu seperti tentara yang berhimpun yang saling
berhadapan. Apabila mereka saling mengenal (sifatnya, kecenderungannya dan
sama-sama sifatnya) maka akan saling bersatu, dan apabila saling berbeda maka
akan tercerai-berai.” [HR Muslim]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar