Minggu, 14 Desember 2014

Perjalanan itu adalah Aku....



Mendaki gunung bukan hanya tentang menjawab tantangan, hobi, merehatkan diri dari hiruk-piruk hidup, atau sekadar menunjukkan kehebatan, apalagi pelarian.
Ia adalah perjalanan hati. Saat lelah telah menjadikan tubuh melemah, akankah hati tetap mampu memenangkan keyakinannya, keberaniannya, kasih sayangnya, kesabarannya, kesantunannya, kekuatan tekadnya, dan kebaikan-kebaikannya yang lain.

Ia adalah cermin. Yang kita dapat mengaca diri di setiap jengkalnya. Tentang bekal yang harus disiapkan, langkah yang dipertimbangkan, napas yang disyukuri, jiwa yang kuat, dan teman seperjalanan yang tepat.
Bersusah-susah menyiapkan bekal  tak ada artinya dibanding kesusahan yang akan ditanggung bila tak ada bekal.  Langkah yang dipertimbangkan bukanlah ketakutan, ia adalah strategi untuk mencapai kemenangan. Sengalan napas mengingatkan bahwa napas ini pun bukan milik diri. Ia bisa habis kapan pun pemiliknya—Allah—mau. Jiwa yang kuat membantu mewujudkan keyakinan, mencapai tujuan. Karena selalu banyak godaan dalam perjalanan. Di pendakian, pohon tumbang laksana sofa yang menawarkan kenyamanan bersandar. Tanah sedikit lapang seperti ruang tamu yang ingin memanjakan kaki-kaki kita menyelonjor sambil mata memejam, tidur. Mengaburkan tujuan yang telah ditentukan. Dan, godaan itu semakin kuat ketika di sana telah banyak manusia lain sedang istirahat.

Dan kita teman, semoga adalah kumpulan ruh yang mencintai kebaikan. Berjuang menyelesaikan perjalanan kita sendiri, dan sesekali bertemu di sebuah titik untuk saling berbagi tawa juga tangis, untuk saling menguatkan, lalu kembali berpisah dan berjanji berkumpul di surga.

“Ruh-ruh itu seperti tentara yang berhimpun yang saling berhadapan. Apabila mereka saling mengenal (sifatnya, kecenderungannya dan sama-sama sifatnya) maka akan saling bersatu, dan apabila saling berbeda maka akan tercerai-berai.”  [HR Muslim]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar