Rabu, 29 Mei 2013

Keresahan Ali







Aku khawatir terhadap suatu masa yang rodanya dapat menggilas keimanan.

Keyakinan hanya tinggal pemikiran yang tak berbekas pada perbuatan.

Banyak orang baik tapi tak berakal, ada orang berakal namun tak beriman.

Ada lidah fasih tapi berhati lalai, ada yang khusyuk namun sibuk dalam kesendirian.

Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis, ada ahli maksiat rendah hati bagaikan sufi.

Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat.

Ada yang murah senyum tapi hatinya mengumpat dan ada yang berhati tulus namun wajahnya cemberut.

Ada yang berlisan bijak tapi tak memberi teladan dan ada pelacur yang tampil jadi figur.

Ada orang berilmu tapi tak paham dan ada yang paham tapi tak menjalankan.

Ada yang pintar namun membodohi dan ada yang bodoh namun tak tak diri.

Ada yang beragama tapi tak berakhlak dan ada yang berakhlak namun tak bertuhan.

Lalu di antara semua itu, dimanakah kita berada  ?

-Ali Bin Abu Thalib-

Senin, 27 Mei 2013

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain


Kedermawanan itu ada 10 tingkatan

1.Mendermakan jiwa untuk agama Allah.
Dengan cara mengorbankannya demi membela agama Allah dengan cara-cara yang dibenarkan syariat. Ini merupakan tingkat kedermawanan tertinggi

2. Mendermakan Jabatan
Dengan mempergunakannya untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi.

3.Mendermakan waktu istirahat dan kenyamanan pribadi
Untuk membantu orang lain. Meskipun akan berakibat ia letih secara fisik

4. Mendermakan ilmu.
Dengan mengajarkannya. Berderma dengan ilmu lebih tinggi dibanding berderma dengan harta, Sebab ilmu lebih mulia dibanding harta.

5. Mendermakan kedudukan sosial
Dengan cara memanfaatkannya untuk melancarkan urusan orang lain.

6. Mendermakan Fisik
Dengan mempergunakannya untuk menolong orang lain. Seperti membantu mengangkatkan belanjaan,
membantu menyapu halaman dan yang semisal

7.Mendermakan kehormatan, 
Dengan cara memaafkan orang-orang yang menggunjing atau menghinanya.

8.Mendermakan kesabaran
Dengan cara menahan diri manakala emosi

9. Mendermakan Akhlak Mulia, wajah berseri dan keramahan

10.Berderma dengan meninggalkan keinginan untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain..Jika tidak bisa berbagi dengan orang lain,maka berdermalah dengan cara tidak mengambil milik orang lain...


Minggu, 26 Mei 2013

Bukan Tamu Undangan




Si musya menangis,terisak tertunduk ke arah tanah di plataran masjid,seolah olah dia sedang mengadu padanya “aku menyesal,aku telah lalai”..
“Ada apa denganmu?” Sahut sahabatnya yang mengejar dibelakang,dengan raut wajah yang terlihat cemas dan ingin tahu.
Musya, “Tidak kah kau dengar seruan adzan sebelum shalat tadi?”
“Dengar, adakah yang salah?”
Musya, “Tidak, hanya saja saat itu aku sedang asik dengan kemalasanku,mengulur waktu karena enggan menyambut seruannya”
“Lalu?”
Musya, “Ketika aku sampai di masjid dengan terburu-buru, kudapati sisa raka’at menghujung terakhir, sehingga aku mempercepat wudlu dan masuk dalam shaf dengan takbir asal-asalan dan kurang sempurna, oleh karena itulah ALLAH tidak ridho atas kedatanganku. DIA mengusirku dengan mengeluarkan hadats yg tak kuasa ku tahan, astaghfirullah, dan seketika itu aku sadar bahwa aku bukan tamunya maghrib ini. Aku tertolak, aku terbuang, tahu kah kamu rasanya diusir oleh orang yang paling kamu cintai lantaran kesalahanmu sendiri??”
Sahabatnya hanya diam dengan mencoba merasakan apa yang dirasa si Musya.
Musya, “Sangat menyedihkan kawan, bahkan saat itu kau sangat membenci dirimu sendiri!”

Senin, 20 Mei 2013

Kesempurnaan Hidup


Suatu hari Kahlil Gibran bertanya kepada gurunya.
“Gibran : Bagaimana caranya agar kita mendapatkan sesuatu yang paling sempurna dalam hidup…???”
“Sang Guru : Berjalanlah lurus di taman bunga, lalu petiklah bunga yang paling indah menurutmu dan jangan pernah kembali kebelakang…!!!”
“Setelah berjalan dan sampai di ujung taman, Gibran kembali dengan tangan hampa…”
“Lalu guru bertanya : Mengapa kamu tidak mendapatkan bunga satu pun…???”
“Gibran : Sebenarnya tadi aku sudah menemukannya tapi aku tidak memetiknya karena aku pikir mungkin yang di depan pasti ada yg lebih indah, namun ketika aku sudah sampai di ujung, aku baru sadar bahwa yang aku lihat tadi adalah yang terindah, dan aku pun tak bisa kembali kebelakang lagi…!!!”
“Sambil tersenyum Sang Guru berkata : Yaa, itulah hidup, semakin kita mencari kesempurnaan, semakin pula kita tak akan pernah mendapatkannya, karena sejatinya kesempurnaan yang hakiki tidak pernah ada, yang ada hanyalah keikhlasan hati kita untuk menerima kekurangan…!!!”
Marilah kita sadari bahwa apa yang kita dapatkan hari ini adalah yang terbaik menurut Allah dan jangan pernah ragu, karena kesadaran itu akan menjadikan kita nikmat menjalani hidup ini… Aamiin…

Minggu, 19 Mei 2013

JENUH



J : Jangan Berlebihan
Ada seorang wanita yang datang pada Aisyah. Aisyah memuji wanita itu sebagai ahli ibadah yang luar biasa, karena saking tekunnya ia menyediakan tongkat untuk berpegangan jika ia sudah tidak kuat berdiri ketika sholat.
Ketika hal itu disampaikan pada Nabi saw. Nabi bersabda : Jangan berlebihan, Allah itu tidak akan jenuh hingga engkau jenuh.
Atur ritme dalam segala hal, agar tak usang.
E : Efektifkan Komunikasi
Logika apa yang paling bisa menjelaskan maraknya friendster, ramainya sms, dan larisnya free talk walaupun tengah malam. Intinya sederhana, karena manusia diciptakan dengan kebutuhan untuk bercerita dan berbagi. Curhat dong, cari teman bercerita
N : Naik Ke Tantangan Berikutnya
Looking for new challenges. Ummat ini dilahirkan untuk menjadi ummat terbaik, khairu ummah, ini sunatullah. Melanggarnya hanya akan melahirkan kejenuhan. Kejenuhan bergerak, kejenuhan beramal, kejenuhan berinisatif. Naiklah ke anak tangga berikutnya, agar kau bisa uji kekuatanmu lebih jauh.
U : Undur Sejenak untuk Maju Lebih Jauh
Ijlis Bina’ Nu’min Sa-ah, begitu ujar sahabat Nabi. Berhentilah sejenak, perbaharui iman, bersihkan sepatu yang sudah berdebu, asah kembali pedang yang tumpul, ambil air wudhu cuci wajahmu hingga bisa menatap ke depan lebih jauh lagi.
H : Hasbiyallah wa Ni’mal Wakill Ni’mal Maula Wa Ni’man Nashir
Sungguh kejenuhan itu adalah masalah hati. Dan Maha Penggenggam hati hanyalah Allah semata. Qolbu itu artinya yang berbolak-balik, ketika ia berbalik atau tertutup debu maka cahaya Allah akan terhalang, maka lahirlah kejenuhan. Maka tengadahkan tanganmu padaNya, minta Ia jaga hatimu agar tidak mati karena enggan dan malas.
Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menyebarkan fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa (Al Quran Al Karim Surah Al Qalam ayat 10 – 12)
Naudzubillahi min dzalik,

Kamis, 09 Mei 2013

Jika Tahu Kita Akan Menangis


 “Andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Indahnya hidup dengan iman. Saat itulah terasa bahwa dunia bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih besar dari yang ada di depan mata. Semuanya teramat kecil dibanding dengan balasan dan siksa Allah swt.
Menyadari bahwa dosa diri tak akan terpikul di pundak orang lain Siapa pun kita, jangan pernah berpikir bahwa dosa-dosa yang telah dilakukan akan terpikul di pundak orang lain. Siapa pun. Pemimpinkah, tokoh yang punya banyak pengikutkah, orang kayakah. Semua kebaikan dan keburukan akan kembali ke pelakunya.
Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam surah Al-An’am ayat 164. “…Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan- Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”
Lalu, pernahkah kita menghitung-hitung dosa yang telah kita lakukan. Seberapa banyak dan besar dosa-dosa itu. Jangan-jangan, hitungannya tak beda dengan jumlah nikmat Allah yang kita terima. Atau bahkan, jauh lebih banyak lagi.
Masihkah kita merasa aman dengan mutu diri seperti itu. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun mampu menjamin bahwa esok kita belum berpisah dengan dunia. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun bisa yakin bahwa esok ia masih bisa beramal. Belumkah tersadar kalau kelak masing-masing kita sibuk mempertanggungjawab kan apa yang telah kita lakukan.
Menyadari bahwa diri teramat hina di hadapan Yang Maha Agung Di antara keindahan iman adalah anugerah pemahaman bahwa kita begitu hina di hadapan Allah swt. Saat itulah, seorang hamba menemukan jati diri yang sebenarnya. Ia datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa. Dan akan kembali dengan selembar kain putih. Itu pun karena jasa baik orang lain.
Apa yang kita dapatkan pun tak lebih dari anugerah Allah yang tersalur lewat lingkungan. Kita pandai karena orang tua menyekolah kita. Seperi itulah sunnatullah yang menjadi kelaziman bagi setiap orang tua. Kekayaan yang kita peroleh bisa berasal dari warisan orang tua atau karena berkah lingkungan yang lagi-lagi Allah titipkan buat kita. Kita begitu faqir di hadapan Allah swt.
Seperti itulah Allah nyatakan dalam surah Faathir ayat 15 sampai 17, “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.”
Menyadari bahwa surga tak akan termasuki hanya dengan amal yang sedikit Mungkin, pernah terangan-angan dalam benak kita bahwa sudah menjadi kemestian kalau Allah swt. akan memasukkan kita kedalam surga. Pikiran itu mengalir lantaran merasa diri telah begitu banyak beramal. Siang malam, tak henti-hentinya kita menunaikan ibadah. “Pasti, pasti saya akan masuk surga,” begitulah keyakinan diri itu muncul karena melihat amal diri sudah lebih dari cukup.
Namun, ketika perbandingan nilai dilayangkan jauh ke generasi sahabat Rasul, kita akan melihat pemandangan lain. Bahwa, para generasi sekaliber sahabat pun tidak pernah aman kalau mereka pasti masuk surga. Dan seperti itulah dasar pijakan mereka ketika ada order-order baru yang diperintahkan Rasulullah.
Begitulah ketika turun perintah hijrah. Mereka menatap segala bayang-bayang suram soal sanak keluarga yang ditinggal, harta yang pasti akan disita, dengan satu harapan: Allah pasti akan memberikan balasan yang terbaik. Dan itu adalah pilihan yang tak boleh disia-siakan. Begitu pun ketika secara tidak disengaja, Allah mempertemukan mereka dengan pasukan yang tiga kali lebih banyak dalam daerah yang bernama Badar. Dan taruhan saat itu bukan hal sepele: nyawa. Lagi-lagi, semua itu mereka tempuh demi menyongsong investasi besar, meraih surga.
Begitulah Allah menggambarkan mereka dalam surah Albaqarah ayat 214. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
Menyadari bahwa azab Allah teramat pedih Apa yang bisa kita bayangkan ketika suatu ketika semua manusia berkumpul dalam tempat luas yang tak seorang pun punya hak istimewa kecuali dengan izin Allah. Jangankan hak istimewa, pakaian pun tak ada. Yang jelas dalam benak manusia saat itu cuma pada dua pilihan: surga atau neraka. Di dua tempat itulah pilihan akhir nasib seorang anak manusia. “Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. 80: 34-37)
Mulailah bayang-bayang pedihnya siksa neraka tergambar jelas. Kematian di dunia cuma sekali. Sementara, di neraka orang tidak pernah mati. Selamanya merasakan pedihnya siksa. Terus, dan selamanya.
Seperti apa siksa neraka, Rasulullah saw. pernah menggambarkan sebuah contoh siksa yang paling ringan.“Sesungguhnya seringan-ringan siksa penghuni neraka pada hari kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua tumitnya diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya. Sedangkan ia berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang lebih berat siksaannya daripada itu, padahal itu adalah siksaan yang paling ringan bagi penghuni neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Belum saatnyakah kita menangis di hadapan Allah. Atau jangan-jangan, hati kita sudah teramat keras untuk tersentuh dengan kekuasaan Allah yang teramat jelas di hadapan kita. Imam Ghazali pernah memberi nasihat, jika seorang hamba Allah tidak lagi mudah menangis karena takut dengan kekuasaan Allah, justru menangislah karena ketidakmampuan itu.

Senin, 06 Mei 2013

Cerita kecil tahajjud : Umar bin Abdul Aziz



Istri Umar bin Abdul aziz, Fathimah binti Abdul Malik, berkata kepada Al Maghirah bin Hakim, ” Hai Mughirah, saya tahu bahwa kadang-kadang diantara manusia ada orang yang lebih rajin shalat dan puasanya daripada Umar. Akan tetapi, saya tidak pernah melihat orang yang dekat kepada Tuhannya seperti kedekatan Umar. Setelah shalat isya pada akhir waktunya, dia merebahkan dirinya di atas tempat sujudnya. Dia berdoa dan menangis hingga tertidur. Kemudian, dia bangun lalu berdoa dan menangis hingga tertidur. Demikian seterusnya hingga subuh” (Al Zuhd karya Ibn Hanbal h.299, Hilyah Al Auliya jil.5 h.360)
**
Rindukah kita pada Allah yang menjanjikan surga? Seperti rindunya Umar bin Abdul Aziz? Atau pamrih saja atas amal yang kita kerjakan “separuh hati” dan berharap bisa memasukkan kita ke dalam surga? Tak bisakah kita sedikit mencintai Zat yang tiap hari tanpa henti memberi rizki kepada kita dan tanpa henti pula juga catatan penghianatan dan dosa kita beri kepada-Nya tiap hari?
Atau seperti apa kita rindu pada shalat malam kita? Masihkah kita jadi PECANDU TIDUR yang begitu nikmatnya dengan tidur dispring bed yang empuk ditemani istri yang cantik dan selimut yang tebal serta AC yang berhembus dan “membiarkan Allah menunggu” picingan mata kita “berharap” mau berkhalwat dengan-Nya? Padahal Rasulullah SAW pun tidur hanya beralaskan daun kurma yang ketika bangun terbekaslah garis-garis dedaunan di punggungnya yang menyebabkan pecahnya tangisan umar ketika melihat kekasihnya seperti itu?
Hamba macam apa kami ini ya Robb ..
Irhamna Ya Robb. Irhamna.
HAL JAZA UL IHSANI ILLAL IHSAN

Minggu, 05 Mei 2013

Ketika Lelah Mulai Menyapa..






Lelah,
Hanya kata itu yang terlontar ketika semua terasa berat,
Hanya kata itu yang terucap ketika semua terasa sulit,
Lelah,
Entah kapan terakhir kali ia menyapaku,
Dan kini ia kembali hadir dan mulai menampakkan dirinya tepat dihadapanku,
Ingin rasanya tidak melihat hadirnya lelah itu
Ingin rasanya tidak mengenal sosok lelah itu

Lelah,
Kenapa dia harus hadir di kala semua butuh untuk diselesaikan?
Kenapa dia harus hadir di saat Allah sedang meletakkan amanah besar di pundak ini?
Kenapa dia harus hadir di saat yang sangat tidak tepat?
Ataukah diri ini yang terlalu lemah sehingga tak mampu menghindarinya?
Ataukah lelah itu memang ingin bersilaturahim?
Atau ia hanya sekedar datang dan memintaku sedikit menyisahkan waktu agar lebih dekat denganNya, untuk bisa berdua denganNya
Hmm... Entah apa maksud kehadirannya...

Lelah,
Jika itu sebuah pertanyaan, Maka jawabnya adalah "istirahat"
Jika lelah itu menyapa fisik, "istirahat" mungkin menjadi jawaban yang tepat,
Jika lelah itu menyapa fikiran, maka "bergeraklah" jawabannya,
Bergerak mengaplikasikan segala kebaikan yang selama ini hanya bertengger dalam fikiran.
Lalu, jika yang lelah itu adalah hati? apa yang menjadi jawabannya? dan apa sebenarnya yang menjadikan hati itu lelah? apakah hati bekerja seperti bekerjanya fisik? atau ia seperti fikiran yang lelah untuk menghadirkan berbagai ide dan solusi untuk meyeimbangkan kerja fisik? hati yang lelah mungkin disebabkan karena fisik dan fikiran yang juga merasakan lelah..
Namun, terlepas dari semua itu, hati tetap butuh istirahat,

bagaimana caranya?,
ketika fisik, fikiran dan hati mulai merasakan lelah, maka cobalah untuk sedikit berisitrahat.. berikan hak bagi tubuh, fikiran dan juga hati untuk beristirahat sesuai dengan porsinya masing-masing.
untuk fisik dan fikiran mungkin semua pembaca tau bagaimana menghadapinya. Tetapi ketika hati disapa oleh sosok lelah, maka berdua denganNya lah yang tepat dilakukan untuk sedikit mengurangi rasa lelah itu, terlepas dari apapun penyebabnya. Karena Dialah yang maha membolak-balikk an hati, Dia yang menggenggam hati - hati kita, maka hanya dengan mengingatNya hatipun menjadi tenang,. Sebenarnya simple sekali jawabannya.. tapi terkadang kita di buat sulit untuk memaknainya sehingga sulit bagi kita untuk bisa menyelesaikanny a. Sedikit ungkapan mungkin untuk tulisan kali ini,

Lelah...
Ia muncul sesuka hati, mempengaruhi diri...
Ia bagaikan air yang begitu cepat mengaliri ke seluruh tubuh hingga ke hati
Ia bagaikan virus yang bisa merusak segala komponen dalam diri

Lelah...
Siapa yang bisa menghindarinya ketika ia mulai menyapa?
Siapa yang bisa mengusirnya ketika ia mulai hadir?
Siapa yang bisa melawannya ketika ia mulai memasuki ruang kita?
Siapa lagi kalau bukan diri kita sendiri?
Dan ketika lelah pun mulai menyapa...
Mulai tampak di raut wajah...
Mulai merasuki raga...

Dan sebagai hamba Allah, tak patutlah kita menyerah...
Tapi kita bisa mencegah atau pun mengobati...
Jika....
Lelah fisik yang menyapa
Beristirahatlah
Jika...
Lelah fikiran yang menyapa
Bergeraklah
Jika
Lelah Hati yang menyapa
Kembali lah Pada-Nya
Kembalilah pada Sang Pemilik hati...
Biarkan Dia yang mengobati...
Karena Dia Maha Memiliki....

Rabu, 01 Mei 2013

Terimakasih untuk orangtua,murobbi,mentor,guru yang mendidik kami Alhamdulillah sehingga kami bisa seperti ini....






Terimakasih untuk orangtua,murobbi,mentor,guru yang mendidik kami Alhamdulillah sehingga kami bisa seperti 

ini..

#selamat hari pendidikan# 

Ribuan ungkapan terima kasih tak akan pernah bisa mewakili segala jasamu pada ku,dlm perjalanan hijrahku ini

Teringat ketika dulu sekali,aku masih dalam keadaan jahiliah…

Tak pernah terbayangkan akan masuk ke dalam lingkaran cinta…

Sebuah lingkaran cinta yang dikelilingi oleh saudara-saudara shalih/ah

Hijrah, satu kata yang menggambarkan proses itu…

Proses dimana aku ingin berubah, aku bosan dengan kehidupanku yang jauh dari Tuhan…

Proses yang begitu banyak rintangan, hambatan yang silih berganti menghampiriku

Tak sedikit cemoohan, sindiran, dan pikiran-pikiran aneh yang mereka lontarkan untukku…

Meski ku tahu itu semua tak sebanding dengan apa yang telah dialami Rasulullah ketika itu…

Ku yakinkan pada diriku berulang kali bahwasanya ini adalah jalanku…

Ini adalah jalan dari Allah yang terbaik untukku…

Selalu ada sosok yang memotivasi ku, yakni seorang Murabbi…

Murabbi yang senantiasa mendoakan mutarabbinya untuk segala kebaikan…

Murabbi yang tak pernah lupa untuk mengevaluasi amalan kita…

Murabbi yang selalu bersedia mendengarkan segala keluh-kesah kita…

Murabbi yang tak pernah menganggap dirinya hebat…

Karena ilmu yang selalu dibagikannya tiap minggu…

Namun, seorang murabbi yang selalu tawadhu dan muhasabah diri sebelum orang lain menegurnya…

Kami tahu, dirimu tak sempurna, selalu ada kesalahan-kesalahan yang dibuat meski tanpa sadar…

Bagiku, kekuranganmu adalah kekuatanmu…tugas kami sebagai seorang mutarabbi adalah menerima dengan 

lapang dada segala kekuranganmu…

Karena kau terlebih dahulu menerima segala kekurangan kami pada awal kita bertemu…

Murabbi, kau yang begitu baik…

Kau yang begitu tegar, merangkulku di saat aku takut…

Menegurku di saat aku mulai jauh…

Memotivasiku saat aku sedang jatuh…

Mendahulukan kami ketika kami mebutuhkanmu, dan tak pernah kau tunjukkan rasa kesedihan, dan segala 

problema yang menghampiri dalam hidupmu…

Di depan kami kau selalu ceria dan bahagia…

Tak pernah kau sambut kami tanpa senyum yang menghias di wajahmu…




 Teachers affect eternity; no one can tell where their influence stops.