Kamis, 01 Agustus 2013

Sebaik-baik bekal mudik




Persiapan mudik ke akhirat seyogyanya melebihi keseriusan kita mempersiapkan bekal mudik ke kampung halaman di dunia

Pernahkah kita sedikit merenung dan mau mengambil iktibar dari setiap apa yang kita temui ketika berjumpa dengan Idul Fitri pada setiap tahunnya? Disamping kesemarakan Idul fitri dari mulai gema takbir, silaturrahim, maaf-memaafkan, aneka ragam kue lebaran dan semarak pakaian baru. Adanya tradisi yang muncul dari kreatifitas kaum Muslimin yang sudah berlangsung sejak lama, seperti halnya tradisi mudik (pulang ke kampung halaman) yang selalu dikaitkan dengan Idul Fitri. Kita tahu bahwa ”gairah mudik” ini yang sekaligus melengkapi kesempurnaan Idul Fitri ini tidak memiliki dalil yang kuat dalam ajaran Islam. Hanya gema takbir lah yang menjadi tradisi asli warisan yang dilakukan sejak zaman Rasulullah saw.    

Tapi meskipun sebuah pengayaan tradisi, tradisi mudik menjelang hari raya Idul Fitri tampaknya memiliki kesan dan pesan tersendiri bagi kehidupan kita. Kerinduan ingin menjalin silaturrahim dengan sanak keluarga, famili, handai taulan dan kerabat yang ada di kampung halaman, menjadikan tradisi mudik ini semakin mengesankan. Padahal dalam Islam, silaturrahim tidak secara spesifik dianjurkan dalam konteks Idul Fitri. Silaturrahim dianjurkan setiap saat. Karena silaturrahim dapat menutupi retak-retak kehidupan sosial yang terjadi akibat gesekan-gesekan yang terjadi antara kita. Gesekan-gesekan itulah yang harus diperbaiki setiap saat sehingga tetap terjalin ukhuwah islamiyah yang kokoh di kalangan kaum Muslimin. 

Dalam suasana mudik ke kampung halaman yang dilengkapi dengan perasaan suka cita yang membahana

Terlepas dari perspektif mana mudik itu ditinjau, yang jelas mudik merupakan kebiasaan yang sudah mengakar dalam kehidupan kita. Mudik menyimpan segudang ekspresi kebahagiaan yang dapat direfleksikan para pemudik. Bagi seorang suami, mudik merupakan kesempatan untuk melepas kerinduan kepada anak dan istri. Bagi seorang anak yang pergi merantau, mudik merupakan kesempatan untuk bertemu orang tua. Begitulah berartinya mudik itu, dan yang pasti siapa saja yang bisa mudik ke kempung halaman, apalagi membawa segudang keberhasilan dapat dipastikan akan bahagia. Konkritnya, tidak ada nuansa mudik yang tidak diekspresikan dengan suka cita, walaupun keberhasilan yang diperoleh di kampung orang lain hanya sedikit.

Tradisi mudik ini sesungguhnya memberikan iktibar kepada kita bahwa jika didunia ini saja kita telah melakukan perjalanan mudik sebagai ”simulasi” prosesi mudik yang sebenarnya nanti. Mudik didunia tentunya masih dibatasi dengan kondisi keuangan dan transportasi yang memungkinkan. Berapa banyak orang yang tidak jadi mudik dikarenakan faktor material, ketidak mampuan membeli tiket dan keterbatasan ketersediaan sarana transportasi. Berbeda halnya dengan mudik kekampung akhirat, yang pasti harus kita jalani meskipun bekal mudik kita tidak ada. 

Menguak Pesan Mudik Alquran

Pesan mudik alquran dapat diartikan sebagaimana disebut diatas merupakan ”hari dikembalikannya atau berpulangnya segala yang ada kepada Sang Pencipta”, yakni Allah swt.. Proses mudik itu terjadi dalam rangka mempertanggung jawabkan seluruh amal yang telah dilaksanakan selama di dunia. Kalau    pesan mudik Alquran ini dapat dipahami sebagi hari kembali kepada Allah, sesungguhnya banyak ayat-ayat Alquran yang menjelaskan hal tersebut. Antara lain adalah (QS. Al Waqiah: 49-50, Hud: 103, Al Baqarah: 148, Maryam: 95, al An’am: 38, al A’la; 17, ad Dhuha: 4 dan lain-lain). Substansi ayat-ayat tersebut mengingatkan mudik yang sesungguhnya ke negeri akhirat. 

Berdasarkan kandungan alquran di atas, yang menjelaskan tentang  kepastian kita kembali kehaderat Allah Swt dan sekaligus mempertanggung jawabkan segala perbuatan kita, adalah salah satu peringatan Alquran. Begitu tingginya penekanan alquran kepada umat manusia agar tidak melakukan investasi jangka panjangnya di akhirat dengan melakukan dosa dan maksiat. Indahnya alquran mengurai berbagai tamsilan tentang dunia dan segala bentuk permainan yang ada didalamnya. Bagaimana alquran kemudian memberikan isyarat tentang kebodohan orang – orang yang terperdaya dengan kejahatan dunia. Menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya, menjadikan dunia sebagai kehidupan yang kekal dan melupakan Tuhan dan akhiratnya dikarenakan kesibukan dunia adalah bukti kuat sIndirin alquran betapa manusia sering lupa akan ”mudik” panjangnya. Padahal, dunia ini diciptakan Allah Swt adalah sarana untuk mendapatkan modal dan bekal yang sebaik-baiknya untuk dapat menyelematkan kita menuju mudik kehaderat Ilahi robbi.  

Oleh karenanya, jika saja kita mampu menghayati dan mendalami kandungan ayat-ayat di atas, pastilah kita akan sibuk mempersiapkan diri untuk mengumpulkan bekal mudik ke akhirat. Tetapi karena kita kurang memperhatikan peringatan Allah, akhirnya kita kurang serius untuk mempersiapkan bekal mudik ke kampung akhirat. Persiapan mudik ke akhirat seyogyanya melebihi keseriusan kita mempersiapkan bekal mudik ke kampung halaman di dunia. Banyak di antara kita yang begitu gigih bekerja di rantau orang untuk mengumpulkan bekal mudik ke kampung halaman menjelang lebaran tiba. Tapi sangat sedikit di antara kita yang secara serius mempersiapkan bekal mudik besar ke kampung halaman yang lebih kekal dan abadi. Padahal, mudik ke kampung yang hakiki itulah yang lebih penting dipikirkan.

Alquran telah mengingatkan bahwa prestasi dan karya nyata di dunia, justru akan menjadi pijakan untuk ”mudik” ke negeri akhirat. Maka berbahagialah orang yang dapat mengukir perjalanan hidupnya dengan karya nyata yang dapat menambah investasi akhirat. Kebahagiaan mudik ke kampung halaman yang sesungguhnya, terutama jika membawa amal ibadah yang cukup, melebihi bahagia mudik ke kampung sementara di di dunia. Itulah yang harus dipikirkan kaum Muslimin agar perantauannya selama di dunia tidak sia-sia.

Kenikmatan tradisi mudik lebaran memberikan kesan yang cukup dalam bagi kita terlebih ketika kita dapat bertemu dengan orang-orang yang kita cintai, handai taulan dan sanak keluarga  sekaligus  memberi kabar tentang keberhasilan dan kesukseskan kita. Akan tetapi kenikmatan mudik ini masih menyisakan ”ruang” untuk kemudian kita sedikit merenung. Sudahkan kenikmatan dan keceriaan mudik ini paralel dengan kegembiraan kita nantinya jika sekiranya Malaikat Izrail (pencabut nyawa) membawa kita ”mudik” kehaderat Allah Swt., Inilah sesungguhnya iktibar penting dari pesan tradisi mudik lebaran kita, bahwa dibalik semua ini terdapat suatu ”mudik besar” yang akan kita alami lagi itulah pesan mudik alquran. Semoga!!!